Atheis,
Sebuah Roman Antara Agama dan Atheisme
Karya Achdiat K.Mihardja
Judul Buku : Atheis
Penulis : Achdiat K.Mihardja
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta
Tebal : 252 halaman
Terbit : 1949 dan 2010
Jujur, saya terkejut saat membaca
novel karangan Achdiat Karta Miharja ini. Awalnya saya kira sebuah roman,
dengan gaya bahasanya yang terkenal membingungkan, kuno, dan statis,
tidak akan menyenangkan untuk dibaca. Apalagi dengan cerita yang terkesan ketinggalan jaman. Tapi saya salah.
Benar-benar salah. Memang sebuah cerita tidak mengenal jaman, tidak mengenal
batasan ruang dan waktu dan tetap abadi. Meskipun buku ini sudah berusia lebih
dari setengah abad, tapi tetap saja amat menarik untuk dibaca.
Novel ini (atau roman, lebih enak
disebut roman) ternyata tidak terlalu tebal, dengan hanya 252 halaman. Terbit
pada tahun 1949 dan terus dicetak ulang hingga tahun 2010 lalu dan diterbitkan
oleh Balai Pustaka, layaknya beberapa roman lainnya. Butuh dua hari bagi saya
membaca roman ini sampai tuntas, meskipun cukup pendek dibanding banyak novel
masa kini.
Sebenarnya itu lebih karena gaya
bahasa yang digunakan. Jujur, ini roman pertama yang saya baca dan mungkin
beberapa dari kalian yang pernah membaca sebuah roman tahu sendiri gaya bahasa
khas roman seperti apa. Meskipun, sebenarnya roman ini lebih ringan dibanding
beberapa roman lain yang muncul lebih dulu dan cukup mengarah ke masa kini.
Tidak terlalu banyak kata asing yang digunakan dan bahasa Indonesia-nya pun
cukup baku meskipun masih ada beberapa kata serapan Melayu.
Tapi, gaya bahasa yang digunakan Bung
(bisa saya sebut bung? Toh dia angkatan ’45) Achdiat benar-benar bagus. Bagus,
sangat bagus dalam pembawaan cerita. Mulai dari metafora yang banyak terdapat
di bagian-bagian cerita juga pemaparan detail latar cerita, yaitu Kota Bandung
dan sekitarnya. Meskipun mendetil, namun tetap bisa enak dibaca, tidak
menyimpang dari cerita serta tidak membuyarkan konsentrasi saya dalam membaca.
Dan gaya bahasa seperti itu memang
cocok dengan ceritanya. Ceritanya awalnya cukup sederhana, mengenai seorang
bernama Hasan, keturunan priyayi yang sejak kecil dididik secara agama oleh
orang tuanya, dan bekerja sebagai gemeente atau pegawai pemerintah di Bandung,
namun saat dia bertemu dengan teman masa kecilnya Rusli yang sudah menjadi
seorang ateis dan komunis mulai membuatnya bimbang. Perlahan-lahan ia mulai
terpengaruh oleh Rusli. Terlebih lagi dengan adanya Kartini, wanita yang
dicintai Hasan dan Anwar, teman Rusli yang meskipun anak bupati tetapi ateis
bahkan nihilis. Mulai muncul kebimbangan di hati Hasan.
Nah, dalam menggambarkan kebimbangan
dan konflik batin dalam diri Hasan inilah saya anggap Bung Achdiat berhasil,
sukses besar menggambarkannya dengan teramat baik, detil namun tetap menyentuh
hati pembaca (dengan kata lain, saya. Saya tidak tahu bagaimana pembaca yang
lain, tapi saya cukup tersentuh). Dalam roman ini sendiri alur yang digunakan
maju mundur dan fleksibel, dipenuhi flashback yang memukau.
Dalam menggambarkan tokoh pun Bung
Achdiat bisa mengatur sifat dan watak tokoh tanpa terlalu stereotip ataupun
karikatur. Misalnya tokoh Hasan yang awalnya alim, lugu dan berhati teguh,
namun lama kelamaan berubah dan kehilangan sifat alimnya. Juga tokoh Anwar
(dalam penggambaran sikap, Anwar-lah tokoh yang paling baik digambarkan
perliakunya oleh Bung Achdiat) yang bersifat tak acuh pada dunia, nihilis,
tanpa tedeng aling-aling, semau gue bahkan mata keranjang. Juga Kartini sebagai
tokoh perempuan yang modernis dan progresif, dapat digambarkan dengan sangat
baik.
Saya tadi di atas menyebutkan
penggambaran detail yang sangat baik. Ya, latar cerita yang bertempat di Kota
Bandung dan sekitarnya saat jaman penjajahan Belanda dan Jepang, kira-kira
tahun 1940-1942 dalam roman ini dapat dipaparkan dengan sempurna (ya, saya
tidak takut untuk menyebutnya sempurna) sehingga saya merasa berada di
tengah-tengah suasana latar tersebut, melihat Hasan menaiki sepeda ontelnya di
jalanan Bandung ataupun bersama Anwar di kereta api. Dan jarang sekali ada
novel ataupun roman yang dapat membuat saya merasa begini.
Meskipun, satu kelemahan menurut saya
di roman ini adalah amanat dari cerita ini tidak begitu jelas, sangat tersirat
meskipun bagi orang seperti saya yang suka menebak makna sebuah kata malah
dapat menjadi suatu kelebihan tersendiri. Mungkin menurut saya sendiri, amanat
dari roman ini adalah “kita harus berpegang teguh pada agama” atau “kita harus
memiliki keteguhan hati dan keyakinan kuat” tapi biarlah kalian pembaca yang
menebaknya sendiri.
Secara keseluruhan, meskipun roman
ini bukanlah sebuah roman yang sempurna namun roman ini sangat baik, dengan
berbagai konsep yang diterapkan Bung Achdiat seperti mengandaikan cerita ini
selayaknya sebuah Dichtung und Warnheit atau novel autobiografis tentang Hasan
si tokoh utama, dan bahkan mengandaikan seolah-olah dirinya sendiri ada sebagai
kenalan Hasan yang “melengkapi cerita yang tidak selesai” (ataukah Bung Achdiat
memang berkata yang sebenarnya? Saya tidak tahu).
Roman ini saya rekomendasikan bagi setiap penikmat
dan pencinta novel maupun cerita-cerita, atau orang yang tertarik pada
novel/roman/cerita. Jika saya harus memberi nilai konkrit, mungkin dapat saya
beri nilai 9 dalam skala 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar